Jumat, 29 Februari 2008

Bias Kelam (CERPEN)

Pertemuan itu terjadi secara kebetulan saat Dewi sedang memilih gaun2 manis yg tergantung di kapstok boutique Joshephine. Seorang Wanita muda dengan make up agak menyala menarik perhatiannya. Rambutnya kini sebahu tubuhnya tetap langsing seperti 8 tahun yang lalu. Bukankah dia Nella, sahabat dekatnya semasa SMA ? Dewi tidak bisa menguasai keinginnanya untuk menegur. Dengan mengendap endap dari belakang tangannya bergerak dan .... Hai .... !
Wanita muda itu menatap, keningnya berkerut. Lupa ? Dewi melebarkan tangannya simpatik “Delapan tahun yg lalu, di Bogor ? Ayolah, jangan berlagak pilon gitu”. “Astaga ! Dewi !” mereka berpelukan, lupa sekeliling. Tidak berapa lama, Dewi melepaskan pelukannya, tatapannya beralih ke gaun (nightdress) motif tenun kalimantan yg tadi lama dilihat Nella. “Mau borong?”. “Ngak ah, ya, satu saja, nanti malam ada pesta pernikahan (wedding ceremony) salah satu relasi kantor. Gaunku sudah kuno semua. Namannya juga pegawai negeri. Mereka tergelak kembali. “Pegawai Negeri yg eksekutif ?”. Dewi berkelakar, Nella mengeleng seraya tersipu.
“Mana yg bagus ya, wi ?”. Wah jawaban pertanyaan itu ada di kamu sendiri, Nel aku pilih2 sebentar yaa. “Ya aku tunggu di sana”, Nella menunjuk ke eskalator di belah pejual handuk dan seprei. “kamu tidak kemana2 khan setelah ini ?
“Sekarangkan sabtu, pegawai swasta libur?” mereka berpisah dan Dewi kembali ke butik Josephine. Dia begitu fanatik denga bordiran gaun-gaunnya. Tiga dari lima gaun-gaun pesta yg dimilikinnya berasal dari butik tersebut.
Setengah jam kemudian, selesai membayar di kasir Dewi bergegas menuju eskalator. Nella sedang santai berpegangan di batas besi seraya melihat lihat lantai bawah. “Kemana kita ? Makan ? Dewi menatap Nella. “Aku yg traktir ya “
“Kebiasanmu tidak pernah berubah, wi ngebos”. Mereka berjalan menuruni tangga menuju basement, Nella memilih masakan
fast food Jepang. Dewi memilih meja makan yg cukup untuk berdua agak menyudut.
“Nah” Dewi menatap Nella tajam. “bagamana kabarmu sobat ? Kamu tetap langsing tetap cantik, tidak jauh dengan delapan tahun yang lalu.
“Dan kamu tetap ....” Nella mengamati penampilannya “oh, no, kamu makin gemuk, Wi ! Kerja dimana sekarang ?”
Dewi menyebutkan salah satu Bank Swasta Devisa Nasional. Nella ganti menyebutkan salah satu departemen. Mereka ramai bercerita tentang kantor, sebelum pembicaraan beralih ke pribadi masing-masing.


“Ya, pernah, Tiga tahun yg lalu, berawal seperti cerita dongeng (
like story), namun akhirnya pahit”. Nella tertunduk sekilas, wajahnya mendung. Dewi menatap tak percaya. Hanya tiga tahun, bisiknya rumah tangga seperti apakah itu ?
“Ada orang ketiga (
another women) ?”. Tanya Dewi hati hati. Nella mengeleng. “Astaga apa sebenarnya?”. Nella menatap Dewi lama. Disaat dulu mereka saling terbuka satu sama lain. Kompetisi akademik juga kecantikan, tidak menyebabkan mereka saling membenci malah persahabatan itu kian erat. Nella begitu mengagumi Dewi, yg menurutnya sederhana dan dewasa, walaupun berasal dari keluarga berada. Sedangkan Dewi begitu mengagumi karena kecerdasan dan keluwesan bergaul Nella. Rasa saling menggagumi tersebut terungkap pada malam perpisahaan SMA. Dan sejak saat itu komunikasi semakin lama semakin jauh, hingga sama sekali hilang. Sebenarnya, Nella ingin menceritakan beban nya selama ini kepada seseorang. Tetapi dia tak berhasil menemukan orang yang bisa dipercaya. Setelah bertemu dewi sejam yg lalu, tiba2 saja dia merasa ingin bercerita banyak.
“Katanlah, Nel, tidak pernah ada rahasia diantara kita khan ? Dulu, juga sekarang?”. Nella menghela nafas panjang matanya agak merah.
“Tiga tahun menikah, janin itu tidak pernah ada, impian kami untuk menimang bayi rasanya kian hari kian tipis. Padahal mas Han begitu menginginkannya Wi. Aku sudah tidak tahan mendengar gerutuan dan gosip di keluarga mas Han yg sampai ditelingaku. Walaupun mas Han berusaha menolak permintaanku, tapi aku mendesaknya. Walaupun kata Dokter, kami normal, kami berpisah baik baik.
“Itu hanya soal Untung atau tidak, Nel!” tiba2 saja Dewi protes. “Mengapa tidak menunggu lebih sabar lagi? Siapa tahu, Tuhan hanya ingin mencoba kalian ?”
“Ya, itulah yang kutakutkan” Kalimat Nella terdengar getir. Dewi terdiam, dia berusaha mengerti maksud kalimat itu. Wajah Nella yg manis terlihat berkeringat, sebagian rambutnya yg lebat menutupi wajahnya. Dewi melihat tangan Nella bergerak gemetar mengambil gelas minum.
“Aku tidak mengerti, Nel”. Lama Nella terdiam “Dulu, sebelum ada mas Han, pernah ada janin disini” tangannya mengelus perutnya pelan. “Tapi aku relakan Wi, waktu itu aku masih muda, masih belum siap , kebetulan ketahuan lebih awal, tak seorangpun mengetahui hal ini, juga laki2 itu.
Dewi terbelalak tak percaya “Nel, kamu jujur?. “Sama kamu aku tidak pernah bihing Wi”
Dewi merasa, butir keringatnya semakin deras mengucur diwajah dan punggungnya. Nella yang manis ini, yang dulu pernah hobi menari, hobi hiking daqn hobi mengoda cowok disekalahan bersamanya. Keluarga Nella bukan kelaurga sembarangan, Dewi tahu itu.

Orang Tuanya taat beribadat, anak-anaknya tidak boleh keluar sampai larut malam. Apalagi Nella satu satunya anak perempuan mereka.
“Disiplin itu membuatku tertekan, hingga saat kebebasan datang sewaktu kuliah, karena lain kota, aku kos. Bagaikan kuda lepas kendali. Dewi menatapnya “mengapa kau tidak menceritakan pada suamimu?”. “Mas Han orang baik, dia adalah laki-laki pilihan orang tuaku. Aku tidak tega sekaligus takut. Jadi rahasia ini kupendam lama. Tetapi semua itu sering datang melalui mimpi buruk, selalu ada janin dalam mimpiku, merah darah dan cairannya mengenangi lantai kamar. Tadinya mas Han berpikir mimpi buruk hanya obsesiku untuk menimang bayi.
Nella mulai terisak, Dewi mengengam tangan sahabatnya prihatin, melihat sahabatnya menangis.
Nella membalas genggamannya “Ini bukan lagi cobaan tetapi hukuman Tuhan untukku, aku gagal sebgai wanita, sebagai Isatri, hanya karena dorongan masa lalu. Seandainya janin itu kubiarkan ...
“Hukuman masyarakat yg akan datang padamu Nel, dan itu biasanya lebih pedih selama kita didunia”
“Ya, tapi kalau tahu begini, aku akan memilih hukuman masyarakat daripada hukumannya, Wi”
Makanan dipiring mereka masing-masing tersisa sedikit. Dewi sudah tidak punya selera untuk menyantap habis, diliriknya arlojinya.
“Kamu mau pulang, Wi? Dewi tergagap, “Yach, sejam lagi aku ada janji” Nella berusaha tersenyum seraya megusap bekas airmata dipipinya. Tangannya mengeluarkan bedak dan lipstik dari tas. “Laki2”. Dewi mengangguk “Kapan menikah?”. “Ah, entahlah”. “Kenapa? Pernikahan bukan sesuatu yang mengerikan asal saja, kita masih punya garansi untuk sang suami”, Nella tersenyum sumbang.
Dewi mengalihkan pandang, selesai berdandan. Nella beranjak, Dewi mengikuti. “Ow iya, no HP kamu berapa ?”. Dewi dan Nella saling bertukar no HP. Di depan Sarinah Nella memanggil Taksi, mereka bersalaman dan berpelukan.
Terima kasih, wi aku akan selalu merindukanmu, jangan lupa undangannya kalau menikah”
“Ya” Dewi merasa suaranya terhambat didalam. Ditepuknya pipi Nella hangat, mereka pandangan kembali, seblum langkah Nella memasuki taksi. Dewi hanya bisa memandangi kepergian taksi itu dengan mata hampa.
Perlahan Dewi berbalik, mencari mobilnya, setelah didalam mobil dibelakang setir dia mengeluarkan HP. Dicarinya nama yg paling dia hafal sebuah suara yang begitu dikenal menyahut diseberang. “Andri?”. “Hallo Darling, dimana nih?” Sarinah, refresing”. Dewi terdiam sejenak. Kemudian “Ndri aku baru ketemu sohib lama disini”. “Laki-laki?”, terdengar tawa renyah diseberang, “mantan pengemar?”. “Bukan, perempuan dia mengajakku makan siang”. Dewi terdiam sebentar “Ndri aku mau pulang, istirahat …, aku lelah”.
“Tapi Wi ? Nada diseberang berubah tinggi “nanti sore kita khan ada janji, kita harus boking untuk dua minggu lagi ! Aku tidak mau capek capek !. “tidak usah saja”. “Apa?” Dewi nyaris menjatuhkan Hpnya saat terdengar teriakan mirip petir disiang bolong.
“Kamu batalkan? Ada apa Wi? Nanti yang kasihan kamunya”. “Tidak apa-apa, batalkan saja”
“Kalau perutmu semakin membesar, apa kata orang Wi? Apa kamu mau menikah sekarang ? Aku belum siap Wi ! Kau jangan macam macam2, kepanikan yang hebat rupanya melanda Andri.
Dewi menghela nafas, matanya menerawang inikah laki-laki yang ia cintai ?. Perlahan-lahan ditutupnya HP. Dia masih mendengar teriakan-teriakan panik diseberang memanggil namanya.
Kepalanya terkulai lemas, Air mata yg sedari tadi di tahanya kini berebut keluar. Hidupmu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupanku … Nella, Andri lelaki yang aku cintai kadarnya tidak lebih dari lelaki pertama yang menghancurkanmu. Dan bodohnya, aku merelakan semua demi cinta yang aku miliki. Nella kemanakah kecedasan kita dulu yg selalu dipuji Kepala Sekolah, Guru2 dan teman teman kita. Ternyata kita sama-sama bodoh.
Mata Dewi terpejam terbayang seraut wajahnya yang menangis tadi. Mendadak dia ingin bertanya kepada Tuhan. Apakah Hukuman untuk Nella juga akan diberikan kepadanya nanti jika dia menikah, setelah dua janin yang berhak hidup pernah direlakannya begitu saja.

0 komentar: